Polisi, Waspada Konflik Horizontal Akibat Hoax Jelang Pemilu

 

Jakarta, jurnalbicara.com

Mengambil alih kewenangan polisi menyusul hoax atau fitnah di media sosial (medsos), jelas merupakan tindakan melawan hukum. Konflik horizontal bisa saja terjadi bila main hakim sendiri dilakukan masyarakat pendukung atau tim sukses calon di sepanjang tahapan Pemilu 2024

Pemerhati budaya dan kepolisian, Suryadi, M.Si, dan aktivis ’98 yang juga Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unmoes (B) Jakarta, Dr. Usmar mengatakan hal itu secara terpisah, Selasa (28/8/23) di Jakarta.

“Untuk itu, Polri senantiasa hendaklah waspada sehingga dapat secara dini mengambil tindakan segera ketika mendapati para pelaku main hakim sendiri,” kata Suryadi.

“Jika tidak, bukan mustahil akan terjadi konflik horizontal,” timpal Usmar.

Suryadi mengimbau Polri segera bersama Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengantisipasi kemungkinan terjadinya hal tersebut di jelang Pemilu serentak 2024, terutama pada tahap kampanye.

“Kapan lagi kita mau berbudaya hukum? Polisi harus siaga sebelum segala sesuatunya terjadi. Terlebih di negara ini, kebanyakan warganya melihat hukum itu eksis ketika menjumpai penegak hukum hadir di publik. Dalam hal ini Polri,” kata Wasekjen Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN), Suryadi.

Pemungutan suara Pemilu serentak calon anggota legislatif (Caleg) DPR RI, DPRD Provinsi serta Kabupaten/ Kota, pasangan calon kepala daerah, dan pasangan capres – cawapres dijadwalkan pada 14 Februari 2024.

Berarti tinggal 5,5 bulan lagi. Suasana menjadi kian hangat, bukan saja karena persaingan para calon. Tetapi, kata Suryadi, lantaran antarmasyarakat pendukung atau tim sukses calon masih jauh dari dewasa dalam menyikapi perbedaan pilihan.

Ia melihat, budaya tenggang rasa yang amat dikenal selama ini ada pada masyarakat Indonesia yang memang beragam, kini sudah terpenetrasi oleh instanisme bawaan teknologi maju dalam berkomunikasi menggunakan telepon genggam atau gadget.

Baca Juga  Ketua MA Lantik Tiga Hakim Agung

Ajang berebut “yang penting menang” pada para calon, kerap disahuti berlebihan oleh masyarakat pendukung dan tim sukses pemenangan calon.

“Kemauan buruk itu membuncah oleh selera cepat saji, lebih cepat berbagi ketimbang berpikir untuk matang-matang memertimbangkan. Kemudian, emosinya yang keluar tersalurkan cepat dan mudah lewat medsos,” ujar Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Komunikasi Kepolisian (PUSKOMPOL), Suryadi.

Untuk itu, lanjutnya, Polisi siber yang dimiliki Polri harus lebih sigap dan secara dini bertindak ketimbang didahului oleh terjadinya peristiwa yang tak diinginkan.

Misalnya, ia memberi contoh, tim sukses berdasarkan temuan melalui tracking yang mereka lakukan sendiri, serta-merta menemui warga yang mereka tuduh memfitnah atau menyebar hoax tentang calon dukungannya.

“Ini kan bahaya, iya kalau tidak terjadi apa-apa. Kalau sampai terjadi kekerasan antara tim sukses dengan orang yang ia tuduh memfitnah, hayo mau bagaimana lagi?” Suryadi mengkhawatirkan.

Lagi pula, lanjutnya, tindakan menemui sendiri orang yang menyebar hoax, jelas langkah keliru. Sebab, tindakan itu sudah masuk dalam ranah wewenang polisi sebagai penegak hukum.

Dia mengimbau tim sukses atau siapa pun pendukung calon, cukup mengadukan kepada pihak kepolisian dengan dilengkapi data tentang fitnah atau hoax dimaksud.

Di lain sisi, ia juga mengimbau, baik personal maupun kelompok pendukung calon, agar tidak fanatis buta sampai-sampai secara ekstrem menjatuhkan pesaing calonnya dengan cara menyebar hoax.

Indonesia itu, lanjutnya, terdiri atas beragam etnis, suku bangsa, budaya, ideologi poltik, dan agama.

Dengan latar belakang perbedaan itu, sejak 1998 bangsa Indonesia sudah meraih ruang demokrasi. Ia mengimbau, agar warga manfaatkan ruang demokrasi secara tertib dengan batas-batas yang dibenarkan oleh hukum.

Kebebasan itu, diingatkan, bukan satu-satunya komponen dalam demokrasi, sebab demokrasi tanpa batasan hukum bukan demokrasi tapi keliaran.

Baca Juga  Cegah Narkoba Jenis Zombie Masuk Indonesia, Ketum Persis Minta Pemerintah Awasi Seluruh Pintu Masuk

Tindakan Teror

Dalam pada itu, Dr. Usmar melihat, adalah sudah sangat benar bersikap menentang dan menolak hoax atau fitnah.

“Siapa pun pelakunya yang menggunakan instrumen apapun, termasuk di medsos, jelas meyimpang dan mencederai dan merobek rasa kebersamaan dalam konteks berbangsa dan bernegara,” kata Ketua Umum LKN, Usmar.

Akan tetapi, Usmar mengingatkan, melakukan tindakan sweeping dengan mendatangi langsung terduga pelaku penyesatan informasi (hoax) oleh kelompok tertentu, tidak dapat dibenarkan.

Tindakan seperti itu, sudah dapat kita katakan teror secara langsung. “Jika tidak cermat dalam penanganannya, malah akan terjadi potensi konflik horizontal di masyarakat,” ujarnya khawatir.

Ia mengingatkan, terhadap penyebaran hoax, dapat kita lakukan tracking untuk mencari tahu pelaku penyebaran berita bohong dan mengumpulkan berbagai bukti. Selanjutnya, dapat dijadikan penguat, bahwa benar telah terjadi upaya sengaja oleh orang atau sekelompok orang dalam penyebaran berita hoax, meski tujuan dari penyebarannya tidak atau belum diketahui motifnya.

Berbekal bukti awal yang telah dikumpulkan tadi, barulah, langkah selanjutnya kita menyerahkan atau melaporkan pada pihak kepolisian. Kemudian, polisi lah yang berwenang mengusut dan menindak secara hukum terhadap orang atau kelompok orang yang telah melakukan penyesatan dan distorsi informasi kepada masyarakat tadi.

Dengan langkah dan tindakan demikian itu, kita telah melakukan pendidikan politik dan hukum kepada masyarakat, bahwa jika terjadi aktivitas pelanggaran hukum akan ada konsekuensi hukum yang harus mereka terima.

Usmar mengingatkan, fungsi tersebut milik institusi penegak hukum negara. “Bukan untuk dilakukan oleh orang atau sekelompok orang sehingga boleh-boleh saja melakukan sendiri tindakan polisional. Ini jelas kontradiktif terhadap penegakkan hukum,” ujarnya. I Ashari

Pos terkait

Tinggalkan Balasan