Suryadi : Pemerhati Kebudayaan & Kepolisian
Polisi modern tak cuma menegakkan hukum.
Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bahkan meletakkan tugas Polri “menegakkan hukum” pada bagian akhir setelah “sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat betugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat” (Pasal 30 (5) UUD ‘45).
Itulah Polri, yaitu polisi berparadigma melayani. Titik berat tulisan ini pada polisi sebagai pelayan masyarakat. Sosiolog hukum yang amat dikenal oleh kalangan Polri, alm. Prof. Satjipto Rahardjo. (Pak Tjip) berpandangan, “Tidak ada bangunan
kepolisian yang final dan mandek, melainkan terus-menerus berubah dan diubah agar dapat menjalankan tugasnya dan melayani masyarakatnya dengan baik” (ed. Asy’ari, 2002: 38).
BARU tiga – empat langkah selepas penjagaan, tampak sejumlah orang duduk-duduk di kursi-kursi sandar berwarna merah di “teras minim” Satuan Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT).
Sementara di ruang dalam penuh oleh mereka yang menunggu giliran diterbitkannya Kartu Sidik Jari (KSJ) atau Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Sebagian lagi, menunggu diterbitkannya Surat Keterangan Kehilangan (SKK) atau keluarnya pengantar (bersama petugas pengantar) untuk melakukan visum et repertum atas kejadian yang menimpanya.
Karena di ruang dalam penuh, jadi mereka santai-saja saja duduk-duduk menunggu giliran di luar. “Kursi-kursi itu baru ada sekitar setahun terakhir setelah Pak Zain memimpin Polrestro Tangerang Kota,” kata seorang petugas di situ.
Di tengah perbincangan di ruang kerjanya, Kamis (11/5/23) Kapolrestro Tangerang Kota, Kombes Pol. Zain Dwi Nugroho, S.H., S.I.K., M.Si tiba-tiba memanggil ajudannya. “Itu di depan ada warga yang mau melapor. Kamu layani, antarkan sampai (ke Satreskrim),” pinta Zain. Secara adminsitarif pemerintahan daerah, Kota Tangerang masuk wilayah Provinsi Banten, tapi kepolisiannya ada dalam jajaran bawah Polda Metro Jaya (Ibu Kota Jakarta) bersama delapan Polres lainnya.
Pemandangan lain ditemukan hampir setiap hari di jalan-jalan menuju kawasan industri Provinsi Banten. Para pelintas kerap menjumpai aparat berseragam coklat. Mereka berkelompok terdiri atas lima sampai enam orang.
Bila menemukan kejadian, misalnya kecelakaan lalu-lintas (KLL), polisi-polisi itu tak tinggal diam. Mereka sigap memberi pertolongan segera dan mengevakuasi korban. Tak jarang pula mereka akrab konko dengan warga sekitar, kemudian menyebar.
Tugas utama mereka, sebenarya, rutin inspeksi dalam rangka pengawasan kamanan, dari satu kompleks industri ke kompleks industri lainnya, terutama yang tergolong kategori objek vital dan lokasi wisata. Mereka itu polisi dari Direktorat Penagamanan Objek Vital (Ditpamobvit) Polda Banten.
Tiap hari mereka rutin berpatroli dan membina kepekaan masyarakat. “Sudah menjadi amanah kami harus dekat dengan masyarakat. Itu yang digariskan oleh Kapolda (IJP. Pro. Dr. Rudy Heriyanto Adi Nugroho) dan sesuai pesan Kapolri,” kata Direktur Pamobvit Polda Banten, Kombes Edy Sumardi Priadinata, S.I.K., M.H.
Pelayan
PENGGAMBARAN situasi di SPKT Polrestro Tangerang Kota dan di jalan-jalan menuju kawasan Industri di Banten tadi, dapat dipastikan hanya dua di antara sekian banyak situasi Polri yang melayani masyarakat di berbagai belahan di Tanah Airi. Bertambah luas lagi jangkauan masyarakatnya, bila melongkok aktivitas para Bhayangkara Pembina Desa (Bhabinkamtibmas).
Gambaran pelayanan tersebut terasa menjadi semacam surprise di tengah-tengah tak sedikitnya kejadian yang “mencoreng” institusi Polri akhir-akhir ini. Pepatah lama mengatakan, terasa “bak hujan sehari di tengah panas terik” lantaran “setitik nila, rusak susu sebelanga”.
Tugas Polri memang begitu dekat, bahkan berkelindan dalam kemasyarakatan Oleh karena itu, tak keliru bila Kapolri, Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo di banyak kesempatan kerap menegaskan, Polri harus tegas, namun tetap human agar tidak kehilangan perilaku melayani. Pernyataan serupa kerap pula diulang-ulang oleh para pemimpin Polri hingga di tingkat terdepan, Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) di kecamatan-kecamatan.
Ketika masih sebagai calon Kapolri, dalam uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR RI (2021), Sigit memaparkan konsep PRESISI, yaitu Prediktif, Responsibilitas, Tranparansi, Berkeadilan (PRESISI). Sigit yang dilantik Presiden menjadi Kapolri menggantikan Idham Aziz (27 Januari 2021) berjanji, dengan pendekatan PRESISI, Polri bisa membuat pelayanan lebih terintegrasi, modern, mudah, dan cepat. Mengapa?
Dalam kalimat Irjen Pol. Tomsi Tohir saat masih menjadi Kapolda Banten (kini Komjen dengan jabatan Inspektur Jenderal Kementerian Dalam Negeri) tergambarkan, “Frekuensi masyarakat ketemu polisi itu tinggi….Semua pernah mengalami berhubungan dengan polisi, apakah itu dalam kemalangan, kecurian, kehilangan, atau untuk suatu pelayanan adminsitrasi. Dalam tugas-tugasnya, polisi itu pelindung, pengayom, pelayan. (Suryadi dkk, 2019:45).
Undang Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian pada pasal 13 tentang Kewenangan dan Tugas menegaskan, tugas pokok Polri yaitu memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (c ), selain memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat (a), dan menegakkan hukum (b).
Cerdas
REFORMASI 1998 membawa perubahan pada Polri. Semula Polri yang berada dalam domain militer (ABRI), berubah menjadi polisi sipil. Secara mormatif, kesipilan polisi itu dijamin oleh Konstitusi Negara dan UU No. 2 tahun 2002.
Hal tersebut menyusul kehendak rakyat (gerakan reformasi) yang dijustifikasi oleh Ketetapan (Tap) MPR No. VI.MPR/2000 tentang TNI dan Polri, serta Tap MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Kedua Tap MPR, dijabarkan lebih tegas lagi oleh UU No. 2 tahun 2002.
Melaksanakan Tugas dan Kewenangan Polri di lapangan, tidak semudah kehendak Konstitusi dan UU No. 2 tahun 2002. Boleh jadi disebabkan oleh ketidaksiapan secara kultural, baik internal Polri sendiri maupun peliknya ketidaksiapan di tingkat eksternal (masyarakat). Tambah lagi, polisi dikehendaki oleh konstitusi dan UU untuk eksis di tengah kondisi terbuka, yang otomatis dimungkinkan oleh perubahan politik dari serba main kekuasaan menjadi demokrasi.
Tak menguntungkannya, “keistimewaan” praktek politik demokrasi di negeri ini memiliki ciri paling menonjol, yaitu reaktif pada banyak pelakunya. Secara cerdas, dapat dipahami hal ini terjadi lebih disebabkan oleh ketidakpaham membedakan mana kebebasan berpikir dan mana pula kebebasan berekspresi. Diperparah lagi oleh kemajuan teknologi berciri cepat dan mudah, yang seharusnya efektif bermanfaat bila digunakan oleh pengguna berakal sehat yang tertib. Padahal, salah satu prasyarat berjalannya demokrasi adalah tegaknya tertib hukum.
Tidak mudah, memang. Menjadi polisi cuma sebagai penegak hukum, agaknya, bukan tipologi polisi tuntutan di zaman Indonesia yang terus berubah dan kini modern “katanya”. Seperti menurut Asy’ari, “Ia (Pak Tjip, red) sangat yakin bahwa kinerja hukum tidak hidup di ruang yang ‘kedap sosial’, justru sebaliknya, hukumlah yang seringkali dipengaruhi faktor perubahan sosial. Agaknya, menjadi semacam khayalan belaka, ketika seseorang mempelajari hukum pada saat yang bersamaan menyepelekan faktor sosial” (2002: xii).
Di zaman yang terus berubah ini, tidak dibutuhkan lagi polisi-polisi yang main kuasa. Polisi dituntut memahami dengan baik hingga ke tingkat motivasi seseorang. Ini agar, misalnya, seorang polisi tidak cuma tangkas main hardik, “Anda baca nggak ini, kan ada larangan….”
Tugas dan kewenangan polisi yang meliputi memelihara kamtibmas, menegakkan hukum, memberi perlindungan dan pengayoman, tak bisa mengabaikan cerdas melayani. Polisi yang melayani itu polisi cerdas, yaitu polisi yang meminimalkan sekecil mungkin kekerasan, apalagi kekasaran.
Dengan sikap melayani, polisi bukan hanya memeroleh simpati sehingga lancar menjalankan tugas dan kewenangannya, melain juga mungkin tanpa sengaja telah menggali banyak hal sebagai infroamsi awal yang berguna bagi langkah pencegahan. Bukankah sampai hari ini lebih banyak yang sepakat, bahwa mencegah jauh lebih baik daripada terus-menerus menangkapi pelaku kriminal? Kecuali, bila ada yang berpandangan lain.
Legacy
PATUT dipahami dengan baik, kepolisian itu institusi berparadigma ganda. Pak Tjip menulis, “Polisi sekaligus merupakan the strong hand of society dan the soft hand of society. Kedua-duanya ada dalam diri kepolisian dan dalam tugas-tugas kepolisian”.
Paradigma pertama, tulis Pak Tjip, adalah kekuasaan, yang menunjukkan posisinya dalam jenjang vertikal berhadapan dengan rakyat. Paradigma kedua, kemitraan dan kesejaran, seperti oleh hukum diberikan tanggungjawab mengayomi, melindungi, membimbing, dan melayani masyarakat (2002: 42). “Jika itu dilakukan dengan sungguh-sungguh, keyakinan Tomsi, pasti polisi diterima masyarakat (Suryadi dkk, 2019: 45).
Sekali lagi, Polri yang melayani adalah polisi yang cerdas. Dengan itu Polri –sebagai institusi, demikian pula dengan personnya– akan meninggalkan legacy kepada generasi polisi pelanjut. Sampai di sini teringat pada Brigadir Taruna Dharu, yang dalam suasana libur Idul Fitri 2023, dengan santun menyengaja sowan kepada para seniornya yang sudah lebih dahulu bertugas di Polda Banten.
Dharu datang dari keluarga pas-pasan. Ia beorang tua single parent (Ibu) sejak usia dini. Ia bermimpi kelak menjadi polisi selayaknya Hoegeng (alm), Kapolri ke-5. “Pak Hoegeng sosok polisi yang sederhana, memiliki kejujuran yang tinggi dan integritas, pemimpin yang antisuap dan patut diteladani,” kata Dharu. Bila tak ada aral menghalang, mungkin Dharu akan mengakhitri ketarunaannya Juli 2023.
Tentang Hoegeng bukan hanya seperti yang ada di benak Dharu. Hoegeng adalah polisi profesional yang melayani. Dengan perilakunya, Hoegeng kerap mencari tahu bahwa anak buahnya telah melayani masyarakat atau sebaliknya. Saat menjadi Kapolri, Pak Hoegeng dalam perjalannya ke kantor kerap sengaja turun dari mobil dinasnya, untuk mengatur kemacetan lalu lintas.
Lingkungan institusi Polri dan masyarakat bertanggung jawab membangun polisi yang cerdas, yaitu polisi yang melayani.**