Menyoal  Syahwat Berkuasa Kepala Desa  

Oleh. Dr. USMAR. S.E.,M.M

DESA sebuah kata yang dapat dimaknai sebagai sebuah agregasi koloni di kawasan pedesaan yang dipimpin oleh kepala desa atau kepala dusun. Berdasarkan data alokasi dana desa tahun 2022 ada 74.954 desa di 434 kabupaten / kota.

Memasuki awal tahun politik 2023,  Desa menjadi pembicaraan publik yang ramai ketika ratusan para Kepala Desa melakukan unjuk rasa di Ibukota Jakarta pada tanggal  17 Januari 2023 lalu untuk menyampaikan keinginan mereka tentang masa jabatan Kepala Desa dengan meminta revisi UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dan apabila tuntutan ini tidak dipenuhi maka mereka bakal demo besar-besaran pada bulan Agustus-Oktober 2023 yang akan datang,  ancam Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi).

Dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pasal 39 ayat 2 masa jabatan kepala desa adalah 6 tahun dan masih diberikan batas maksimal yaitu tiga kali untuk mencalonkan diri atau dapat maksimal 18 tahun jika terpilih Kembali.

Namun ternyata masa periode jabatan tersebut masih dianggap kurang, sehingga pada poin inilah yang menjadi fokus tuntutannya agar masa jabatan tersebut di ubah dari 6 tahun per periode menjadi 9 tahun per periode, dan tetap dapat dipilih untuk 3 periode yang jika ditotal dapat berkuasa selama 27 tahun atau lebih dari seperempat abad.

Sungguh tuntutan yang sangat fantastis dan pragmatis, mengingat pasca reformasi jabatan Walikota, Bupati, Gubernur  bahkan Presiden per periode hanya 5 tahun, dan dapat dipilih kembal maksimal 2 kali, artinya maksimal hanya 10 tahun.

Sulit rasanya untuk memaknai bahwa tuntutan keinginan perpanjangan periodesasi jabatan kepala desa ini hanya karena semangat membangun desa demi kesejahteraan warga desanya. Yang kental terasa justru nuansa semangat untuk tetap sekedar mengedepankan syahwat berkuasa dari pribadi-pribadi sang kepala desa, tanpa terpikirkan soal regenerasi kepemimpinan di Desa tersebut.

SEJARAH SINGKAT PEMILIHAN KEPALA DESA

Pemilihan Kepala Desa secara langsung pertama kali dilaksanakan  pada masa Raffles di bawah Revenue Instruction 1814, artinya sudah berlangsung sekitar 209 tahun.

Saat itu kebijakan pemilihan kepala desa, bukan dimaksudkan untuk menciptakan pemerintahan desa yang demokratis tapi untuk mencari orang paling berpengaruh (kuat) di desa yang selanjutnya diberi tugas menarik pajak. Hal ini terkait dengan kebijakan land rent atau pajak tanah, dimana Pemilihan ini dilakukan setiap tahun menjelang takwim pajak pada November–Desember.  Adapun Kepala Desa yang terpilih menjabat selama setahun dengan tugas utama adalah menarik pajak tanah tersebut.  (Prof. Hanif Nurcholis).

Baca Juga  Bawaslu, Garda Membangun Keberadaan di Hulu Demokrasi

Kemudian dengan PP No. 212 tahun 1907 tentang Pemilihan Kepala Desa mengganti model pengisian kepala desa ala Raffles 1814. Dan Jabatan Kepala Desa yang terpilih adalah seumur hidup.

Memasuki era penjajahan Jepang, pengaturan mengenai Desa diatur dalam Osamu Seirei No. 7 yang ditetapkan pada tanggal 1 Maret Tahun Syoowa 19 (2604 atau 1944). Dari ketentuan Osamu Seirei ini ditegaskan bahwa Kucoo (Kepala Ku, Kepala Desa) diangkat dengan jalan pemilihan. Sedangkan dewan yang berhak untuk menentukan tanggal pemilihan dan syarat-syarat lain dalam pemilihan Kucoo adalah Guncoo. Sedangkan untuk masa jabatan Kucoo adalah 4 tahun. Kucoo dapat dipecat oleh Syuucookan (Surianingrat, 1985: 189-190). Dan Kepala Desa difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki Jepang, seperti jarak, padi dan tebu. (Suhartono et.al. 2001: 49),

Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan UU No. 1/1945. mengatur kedudukan desa dan kekuasaan desa dan komite nasional daerah, sebagai badan legislatif yang dipimpin oleh seorang kepala daerah.
Kemudian UU No. 1/1945 disempurnakan dengan UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintah Daerah. Selanjutnya dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, juga menetapkan desa sebagai daerah yang berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri (otonom). Jadi, UU ini memberikan status otonomi formal kepada desa, bukan otonomi adat. Dalam UU No. 1/1957, desa dijadikan Daerah Tingkat III.

Pada 1965 Pemerintah mengeluarkan UU No. 19 Tahun 1965 tetang Desapraja Tingkat III di Seluruh Wilayah Indonesia. Pada Pasal 1 dijelaskan tentang Desapraja, yaitu Kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.

Di era Orde Baru melalui UU No. 6 Tahun 1969, UU tentang Desapraja tidak berlaku. Mulai saat itu, dasar hukum desa menjadi tidak jelas. Lalu Untuk mengatasi kekosongan landasan hukum tentang desa, dikeluarkanlah Surat Edaran Mendagri No. 5/1/1969, tanggal 29 April 1969 tentang Pokok-pokok Pembangunan Desa.
Kemudian mengacu pada UUD 1945 Pasal 18 tentang pemerintah daerah.  dikeluarkanlah UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Dan berdasarkan Pasal 88 UU No. 5 Tahun 1974, dibuat UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dan desa mulai mendapat dasar aturan yang jelas lagi.

Baca Juga  Layak Berdiri, Museum Brimob Polri

Selanjutnya pengaturan tentang Desa di atur dalam Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Lalu pada tahun 2004, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Terakhir pada tahun 2014 keluarlah UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang masih berlaku hingga saat ini di tahun 2023.

SUMBER PENDANAAN DESA

Dana Desa merupakan dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada setiap Desa dan digunakan untuk mendanai urusan yang menjadi kewenangan desa yang meliputi penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari APBN.

Besaran dana desa yang di alokasikan dari APBN sejak pertama kali diterapkan  selalu terjadi peningkatan tiap tahun, dengan rincian sebagai berikut :
Tahun 2015 sebesar Rp. 20,76 Triliun
Tahun 2016 sebesar Rp. 46,98 Triliun
Tahun 2017 sebesar Rp. 60 Triliun
Tahun 2018 sebesar Rp. 60 Triliun
Tahun 2019 sebesar Rp. 70 Triliun
Tahun 2020 sebesar Rp. 71,19 Triliun
Tahun 2021 adalah sebesar Rp. 72 Triliun
Tahun 2022 adalah sebesar Rp. 68 Triliun
Tahun 2023 adalah sebesar Rp. 70 Triliun

Adapun pembagian anggaran dana desa untuk tahun 2023 berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan PMK No. 201/PMK.07/2022, pada Pasal 6 ayat (5) disebutkan bahwa pengalokasian dana desa dibagi berdasarkan empat bagian, yakni :

1. *alokasi dasar*, dimana penentuan alokasi dasar bagi setiap desa ditentukan berdasarkan jumlah penduduk masing-masing desa.
2. *alokasi afirmasi*, dibagikan kepada desa tertinggal dan sangat tertinggal yang memiliki jumlah penduduk miskin terbanyak.
3. *alokasi kinerja*, diberikan kepada desa dengan kinerja terbaik yang ditentukan untuk setiap kabupaten/kota
4. *alokasi formula*. diberikan dengan porsi sebesar 30% dari anggaran Dana Desa.

Baca Juga  Bagaimana Proses Izin Edar Alat Kesehatan ? Simak Disini !

Dengan besaran alokasi dana desa tahun 2023 sebesar Rp.70 Triliun dan jumlah desa sebanyak 74.954 desa, maka secara umum rata-rata tiap desa dapat menerima alokasi dana desa per tahun sekitar antara Rp.600 juta – Rp.1 Milyar per desa.

KORELASI DANA DESA DENGAN TINGKAT KEMISKINAN

Jika kita lihat data BPS pada September 2022 menyebutkan, jumlah penduduk miskin mencapai sebesar 26,36 juta orang atau sebesar 9,57% dari jumlah penduduk Indonesia. Dan dari jumlah penduduk miskin tersebut prosentasi terbesar masih berada di pedesaan yaitu sebesar 14,38 juta orang pada September 2022, ini berarti terjadi peningkatan kemiskinan di Desa, yang pada bulan Maret 2022 sebesar 14,34 juta orang.

Melihat besarnya dana desa yang selalu meningkat tiap tahunnya, sementara tingkat kemiskinan di Desa bukannya berkurang malah meningkat, ini secara umum, dapat diartikan ada yang tidak tepat dalam pemilihan program dan distribusi pemanfaatannya, atau mungkin saja salah orientasi dan terjadi distorsi, ini dapat kita lihat dari data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menyebutkan bahwa  Sejak 2015 hingga 2022 terdapat 601 kasus korupsi di desa dengan jumlah tersangka 686 orang

Dan hal ini semestinya yang utama harus dipikirkan dan di perjuangkan oleh para kepala Desa, bagaimana dapat menyelaraskan antara peningkatan dana desa yang diberikan pemerintah pusat dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa yang salahsatu indikatornya adalah terjadi pengurangan tingkat kemiskinan di Desa.

Untuk itu program yang dibuat haruslah program yang mampu membebaskan masyarakat desa dari himpitan dan cengkraman kemiskinan. Dan ini yang seharusnya menjadi fokus perhatian utama dari para kepala desa.

Sehingga yang diperlukan adalah kualitas waktu bukan kuantitas waktu, bagaimana saat menjadi pimpinan di Desa mampu memberikan manfaat pada masyarakat desanya.

Jika ini tidak terpikirkan apalagi tidak mampu dilakukan, maka kita dapat mengatakan bahwa para kepala desa hanya lebih tertarik mengedepankan syahwat berkuasa daripada semangat menyejahterakan rakyat di desanya.

Dan perlu kita mengingatkan Kembali apa yang pernah dikatakan oleh Lord Acton (1833-1902), bahwa, “Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely”

*Penulis: Dekan Fak.Ekonomi & Bisnis Univ.Moestopo (Beragama), Jakarta.*Dan Ketua Umum Lembaga Kebudayaan Nasional*

Pos terkait

Tinggalkan Balasan