*Suryadi*
Pemerhati Budaya
dan *Helsi Dinafitri*
Penulis Buku
“Rupa-rupanya, sejarahnya mulai waktu Panitia
Persiapan Kemerdekaan dalam zaman Jepang
mengangkat konsep itu (gotong-royong, pen) menjadi
suatu unsur yang amat penting dalam rangka prinsip-
prinsip dasar negara kita,” tulis antropolog, Prof.
Koentjaraningrat menjawab pertanyaan, “Apakah
gotong-royong itu sebenarnya?” (“Kebudayaan, Mentalitas,
dan Pembangunan”, 1984 (cet. ke-11): 61).
Tanggal 1 Juni 1945 atau dua bulan 17 hari jelang
Proklamasi Kemerdekaan RI, anggota Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI),
Ir. Sukarno, pada sidang BPUPKI mengusulkan, “Pancasila”
sebagai calon dasar negara. Jika tidak mau menggunakan
kata Pancasila, ia memerasnya menjadi Trisila, kemudian
memerasnya lagi menjadi menggunakan istilah Eka Sila,
yaitu Gotong-Royong (Dr, Anhar Gonggong dalam Sularto &Yunarti, 2010:xv)
SUATU ketika sebuah rumah di sebuah Rukun Tetangga (RT) di Kota Depok, pinggiran Jakarta, datang dua remaja. Mengaku utusan pihak kelurahan, mereka datang untuk melakukan sensus pendapatan keluarga.
Setelah mengemukakan tujuan sensus yaitu untuk membuat tolok ukur rata-rata pendapatan per rumah tangga, kemudian mereka mendata, antara lain kendaraan yang digunakan, bahan bakar memasak, kebutuhan dapur sehari-hari, dan lain-lain.
Selang tiga hari setelah itu, datang dua Ibu-ibu “berpakaian khas” mengaku dari RT setempat. Mereka datang untuk memungut iuran bulanan. Tetapi, setelah mememberi “kartu iuran bulanan”, mereka urung memungut. Malahan mereka terlibat “debat kusir” dengan si tuan rumah saat ditanya: 1) dana yang terkumpul digunakan untuk kegiatan apa saja? dan 2) tahukah bahwa di kompleks ini ada seorang janda terlantar?
Tak jelas apa yang diuraikan secara bergantian tak beraturan oleh kedua ibu muda tadi, sementara si tuan rumah mendengarkan saja. Kemudian, salah seorang dari kedua Ibu-ibu itu, ngeles menjawab, “Mana kami tahu. Makanya, dia itu (si janda terlantar, pen) bergaul dong.” Mereka lantas berlalu begitu saja dan hingga kini tak pernah datang lagi untuk memungut iuran.
Dalam acara bedah buku “Seabad Koentjaraningrat” 15 Juni 2023 di Bentara Budaya, Palmerah Selatan, Jakarta, seorang peserta menggugah murid-murid Prof. Koentajaraningrat (Pak Koen), untuk menanggapi “gotong royong” yang tampaknya kian tergerus.
Sebagai latar belakang, ia membandingan kepedulian penumpang trem di sebuah negara tetangga dengan penumpang di Kereta Rel Listrik (KRL) di Ibu Kota Jakarta yang duduk, saat tahu ada penumpang yang berdiri namun lebih layak duduk ketimbang dia.
Di negara beragam asal suku-bangsa yang juga dikenal sebagai “negeri bule” itu, urainya, semua penumpang muda (normal) berdiri, membiarkan bangku di depannya kosong. Maka, ketika di sebuah halte ada yang baru naik dan ternyata lebih layak duduk, langsung saja menempati kursi kosong tersebut.
Di atas KRL Jabodetabek kebanyakan penumpang duduk berderet, sepanjang jalan pura-pura tertidur pulas atau asyik ber-gadget ria sehingga tak peduli lagi kiri-kanan. Nah, ketika ada di antara mereka yang bangun, lantas mempersilakan penumpang lanjut usia (manula) menempati tempat duduknya, sungguh itu terasa sebagai sebuah perbuatan surprise. Langka!
Dengan perbandingan tersebut, muncul tanya, “Yang individualis itu, kebanyakan mereka yang di sana atau yang di sini, ya…?” Salah seorang pembedah –rupa-rupanya murid Pak Koen— cekatan menanggapi, “Kita tidak perlu sinis, terbukti pada masa pandemi covid-19 yang lalu, gotong royong itu, sangat tampak.”
Saya kira dia benar. Meski harus diakui, di sejumlah tempat di tanah air, juga bermunculan penolakan warga terhadap jenazah korban covid-19 yang akan dimakamkan di pekuburan dalam wilayahnya. Agaknya, mereka menduga covid-19 masih terbawa oleh jenazah, sehingga akan menulari mereka.
Masih segar dalam ingatan kejadian tragis satu keluarga meninggal dunia di Jakarta. Mereka baru berhari-hari kemudian diketahui meninggal di rumahnya yang tertutup, lantaran bau tak sedap meruap ke tetangga. Terlepas dari etnis apa dan apa pula motivasinya, tingkat kekayaan yang bagus, bagaimana pergaulannya, dan agama yang mereka anut, kejadian ini menjadi pukulan berat untuk gotong-royong yang katanya sudah menjadi “identitas” bangsa Indonesia. Bukankah tak mungkin gotong-royong dimulai dan kemudian terbangun tanpa ada rasa kepedulian?
*Di Berbagai Daerah*
GOTONG royong, jika itu diartikan “bekerja bersama” (“tolong-menolong”, “bantu membantu”) seperti dalam KBBI, (2002: 370), rasanya benar bahwa di tengah kelatahan para pejabat melontarkan “jargon sinergitas” dalam berbagai kesempatan bersifat seremoni, gotong-royong “masih hidup”. Kendati, mungkin, sudah tergerus oleh serbuan “semua serba uang” seiring kecenderungan “industrialisasi super modern” yang kian menggeser manusia sebagai faktor produksi menjadi ke sekadar alat produksi.
Berbagai gambaran bahwa gotong-royong masih hidup dapat dilihat di berbagai daerah di tanah air. Kenyataan ini dapat ditemukan, antara lain di pulau-pulau Irian, Maluku, Sulawesi, Nusa Tengara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali, dan Kalimantan. Tentu saja, hal serupa itu juga dapat ditemukan di pulau-pulau Jawa (Jatim, Jateng, DIYogyakarta, Jabar, Banten), Sumatera (DIAceh, Sumut, Sumbar, Sumsel, Jambi), serta Bangka Belitung, Riau, Kepulauan Riau.
Masyarakat di pulau-pulau tersebut, sudah terbiasa dengan aktivitas bersama, mulai dari membersihkan ladang, bercocok tanam (menanam sampai memanen), dan membangun rumah. Selain, untuk kepentingan umum, mereka juga bergotong-royong membangun jalan, sanitasi, dan kantor desa.
Di NTT, misalnya, dalam masyarakat “lamaholot” di Flores Timur daratan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdapat gotong-royong yang dikenal sebagai ”gemohing”. Daerahnya, meliputi Pulau Adonara, Solor, dan Pulau Alor – Pantar.
“Kalau saya tidak salah ingat, ”gemohing” itu diangkat dari kearifan lokal setempat oleh (alm) Bupati Markus Weking di awal-awal 1980-an. Di desa asal saya, Retraen, Kecamatan Amarasi Selatan, Kabupaten Kupang juga ada, “matofan rene” (kerja berasama membuka lahan kebun) namanya,” urai Hans Itta (69), jurnalis senior Harian Merdeka (BM. Diah) kepada penulis dalam bincang-bincang 78 tahun RI merdeka.
Masih di NTT, tepatnya di Desa Lembur, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur. Sejak 1970-an, masyarakat di sini biasa gotong-royong untuk kepentingan keluarga tertentu. Mereka mengumpulkan uang untuk membiayai anak-anak lulusan SMA yang bercita-cita melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Nama kegiatan itu “Poka Sawar Limbang Sama” (PSLS). Mengutip Puslap Kemendikbud, detik.com (11/8/2022) melansir, PSLS dikembangkan dari tradisi “Poka Soet Limbang Oken” yang memang telah ada sejak ratusan tahun silam.
Berlandaskan lima asas meliputi religius, kekeluargaan, kerja sama, musyawarah, dan mufakat, masayarakat Minahasa di Provinsi Sulawesi Utara, juga punya tradisi gotong- royong yang mereka namakan “Mapalus”. Dalam kegiatan ini, biasanya, mereka selain bekerja bersama menyambut datangnya panen raya, juga membantu keluarga yang mengalami kedukaan saat aggota keluarganya meninggal.
Di Sulewesi Selatan, tepatnya pada Masyarakat Bugis Barru ada tradisi yang terbilang unik. Tepatnya di Desa Lalabata, Kecamatan Tanete Rilau. Di sini ada kebiasaan warga memindahkan rumah dari satu lokasi ke lokasi lain. Dalam kerja bersama yang dinamakan maraca’ bola” ini, masyarakat beramai-ramai menggotong untuk memindahkan rumah. Dilansir oleh kompas.com (15/5/23), tradisi ini sudah berlangsung sejak lama secara turun temurun.
Di antara sejumlah tradisi gotong-royong di Sumatera Barat, orang Minangkabau di Kabupaten Pariaman memiliki kepedulian menolong sesama yang mengalami kesulitan permodalan. Aktivitas ini dinamakan “julo-julo”, semacam arisan. Uang yang terkumpul digulirkan untuk memodali sebuah keluarga yang mengalami kesulitan modal memulai usaha produktifnya. Ketika usahanya sudah berjalan, maka yang bersangkutan wajib mengembalikan secara arisan, untuk kemudian digunakan oleh keluarga yang lain pada kesempatan berikutnya.Terus begitu bergantian. Pada 1980-an BKKBN menggulir hal serupa dengan nama “pinjaman berantai”.
*Kepedulian, Musyawarah, Ikhlas*
INDONESIA di masa lalu oleh penjajah Belanda dinamakan Hindia Belanda, setelah sebelumnya sebagai bagian terbesar dari Nusantara. Salah seorang founding fathers, Ir. Sukarno (Bung Karno), yang kelahiran zaman Belanda, mengungkapkan, awalnya upah tidak dikenal bagi pekerjaan di rumah tangga di lingkungan masyarakat Indonesia. Bila ada pekerjaan berat yang harus diselesaikan, setiap orang turut membantu.
Bila akan mendirikan rumah, ada warga yang membawakan batu tembok, dan yang lain membawakan semen. Bung Karno juga menceritakan susahnya kehidupan ketika ia kecil di masa penjajahan itu. “…. Keluarga Munandar menempati rumah yang satu kelompok dengan kami. Sesuai kebiasaan orang Jawa, kalau kami tidak punya beras, kami makan bersama mereka. Kalau kami tidak ada pakaian, kami pinjam ke mereka. Itulah gotong-royong. Setiap orang ikut ambil bagian…. Itulah gotong-royong. Saling membantu,” ungkap Bung Karno kepada jurnalis AS, Cindy Adams yang dituangkan dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2019: 32 – 33, 30).
Konsep gotong-royong, boleh jadi, secara formal baru diangkat oleh Bung Karno dalam sidang BPUPKI sebagai suatu unsur amat penting sebagai prinsip-prinsip dasar negara merdeka, di saat dua 2,5 bulan lebih jelang Kemerdekaan RI akan diproklamasihkan. Tetapi, sebagai budaya, diyakini, sudah ada sebagai tradisi yang mengakar di Nusantara (khususnya Indonesia, kini) sejak manusia di sini hidup bermasyarakat.
Dalam sistem nilai budaya orang Indonesia, tulis Pak Koen, sekurangnya ada empat konsep meliputi: 1) manusia tidak hidup sendiri di dunia ini; 2) dalam segala aspek kehidupannya, manusia pada hakekatnya tergantung pada sesamanya; 3) karena itu, ia harus selalu berusaha untuk sedapat mungkin memelihara hubungan baik dengan sesamanya, terdorong oleh jiwa sama rata sama rasa, dan 4) selalu berusaha untuk sedapat mungkin bersifat konform, berbuat sama dan bersama dengan sesamanya dalam komunitas, terdorong oleh jiwa sama tinggi – sama rendah (1984: 62 – 63).
Indonesia Merdeka diproklamasikah oleh Ir. Sukarno – Drs. Hatta (an. Bangsa Indonesia) pada 17 Agustus 1945. Sejak itu, sekecil apa pun derap pembangunan digerakkan. Begitu juga pada periode-periode kepemimpinan berikutnya hingga kini Indonesia dipimpin oleh Presiden ke-7, Ir. Joko Widodo (Jokowi). Di setiap periode ada dalam dinamika kepemimpinan masing-masing, yang dalam bahasa permaafan dikalimatkan “dengan segala plus-minus-nya”.
Semua Negara dan kepemimpinannya bergeming terhadap pengaruh dari dan untuk apa pun yang terjadi dalam tatanan pergaulan internasional. Di dalamnya, termasuk terus-menerus sangat dipengaruhi oleh kepentingan (masing-masing) dalam negeri, sekawasan, dan luar negeri. Sekaligus saling ketergantungan.
Empat konsep dalam sistem nilai budaya Indonesia yang dikemukakan oleh Pak Koen tadi, diberikannya sebagai identifikasi secara tajam, untuk menjajawab pertanyaan, “Apakah gotong-royong itu menghambat pembangunan?”
Dengan keempat konsep tersebut, penulis secara saksama melihat gotong royong tidak mungkin terwujud tanpa (sedikitnya) tiga hal mendasar dalam persaudaraan sebangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika –perbedaan dalam persatuan. Ketiganya, yakni ”kepedulian”, yang kemudian digagas dan dibahas dalam “musyawarah” untuk dieksekusi dengan “Ikhlas”.
Oleh karena itu, penggambaran tentang perbandingan antara penumpang muda usia di trem di “negeri bule” tetangga dan KRL di Jaobdetabek, bukanlah sebuah sinisme. Tetapi, contoh itu ada dalam masa (terus) membangun. Juga, cerita tentang “seorang janda menderita” yang justru membuat ibu-ibu pemungut iuran bulanan RT meradang, bukanlah sebuah sinisme. Keduanya hanya sekian dari persoalan kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bersaudara yang tak kunjung berjawab sampai mereka mau kembali kepada gotong-royong.
Gotong-royong dibutuhkan sepanjang hidup, mengingat hidup bukan cuma diwarnai oleh pesta hahaha, sakit, dan kematian. Gotong-royong justru diperlukan di saat sesama, misalnya, ketiadaan modal untuk memulai usaha dan melanjutkan pendidikan. Gotong-royong diperlukan untuk membuat mereka yang layak dibantu menjadi mandiri dan kembali kepada gotong-royong.
Konkret, gotong-royong terus dibutuhkan bukan dalam omong-omong belaka. Gotong-royong dibutuhkan oleh sesama anak bangsa, baik di level sanak-saudara, kelompok masayarakat, maupun berbeda etnis dan agama.
Tingkat kemiskinan atau keterancaman menjadi miskin selalu berjalan beriringan dengan kemiskinan sosial atau kemiskinan pikir nirkepekaan hati. Maka, jika di depan mata ada 100 maling, penipu, garong, jurufitnah, penjahat seks atau penjahat lainnya, jangan tambah jumlah itu menjadi 101 dan seterusnya. Di dalamnya, termasuk perilaku cuek, seolah tak tahu, lantas mendiamkan kerawanan sosial terus terjadi!**